Surabaya, locusdelictinews|Di tengah merajalelanya ketidakadilan dan ketimpangan sosial yang kian menggila, masih ada satu suara yang tak pernah surut, suara yang lahir dari warung kopi pinggir jalan, dari cangkrukan sederhana penuh makna, dari hisapan rokok dan seruput kopi yang menyulut bara kesadaran rakyat kecil. Suara itu milik Eko Prianto, yang lebih dikenal sebagai Eko Gagak aktivis egaliter yang menolak dibungkam, menolak tunduk, dan menolak diam.
Eko Gagak bukan sekadar kritikus, ia adalah denyut nadi keresahan masyarakat miskin yang tak pernah diberi ruang dalam panggung kekuasaan. Ia menyebut proyek reklamasi laut di Surabaya, Sidoarjo dan sejumlah wilayah lain sebagai bentuk kejahatan terstruktur. Baginya, proyek nasional itu hanyalah kedok manis dari praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme yang dibungkus narasi pembangunan. Laut-laut dikavling, dijual sebagai properti, dijadikan Sertifikat HGB, dan digunakan sebagai jaminan ke bank. Hukum, pejabat, pengusaha, dan lembaga keuangan seperti berada dalam satu ranjang, merampas hak rakyat dengan sah secara hukum tapi zalim secara nurani.
Tidak ada transparansi. Tidak ada keberpihakan. Yang ada hanya penggusuran, penindasan, dan pengkhianatan terhadap hak hidup masyarakat pesisir. Rakyat diusir dari tanah dan lautnya sendiri, demi memperkaya para elite rakus yang tak pernah cukup makan dari uang rakyat. Sementara itu, lembaga-lembaga yang katanya pro-rakyat malah ikut menjilat dan menjadi bagian dari sistem busuk ini.
Dalam celoteh khasnya yang blak-blakan, Eko menyuarakan perlawanan terhadap Omnibus Law yang disebutnya sebagai alat legalisasi neo-kolonialisme. Undang-undang ini, menurutnya, bukan hanya menyalahi UUD 1945 dan Pancasila, tapi juga menghancurkan sendi-sendi keadilan sosial. Buruh diperas tenaganya, dihapus upah sektoralnya, dikurangi pesangonnya, diberi jam kerja lebih panjang, lalu dibuang dengan PHK sewenang-wenang. Undang-undang ini adalah bukti konkret bahwa negara bukan lagi berpihak pada rakyat, melainkan menjadi alat pengusaha.
Kritik Eko tidak berhenti di sana. Ia menyoroti kabinet pemerintahan yang menurutnya lebih layak disebut “Kabinet Merah dan Putih”—bukan karena warna bendera, tapi karena terbagi dan dipenuhi oleh figur-figur lama yang masih terikat korupsi dan kepentingan pribadi. Di mata Eko Gagak, reformasi telah gagal melahirkan pemimpin sejati. Yang lahir justru aktor-aktor politik yang menjual penderitaan rakyat dalam proposal program ke lembaga donor, ke lembaga asing, bahkan ke kekuatan asing yang ia sebut sebagai “Aseng.”
Namun Eko Gagak bukan aktivis proposal. Ia tidak digaji, tidak didanai, tidak punya sponsor. Yang ia miliki hanyalah suara. Tapi suara itu cukup untuk menggugah kesadaran banyak orang. Ia bicara soal kemiskinan, pengangguran, supremasi hukum yang tumpul ke atas, tajam ke bawah. Ia mengutuk pembungkaman pers, penggusuran rakyat miskin, ketimpangan budaya, runtuhnya peradaban, serta matinya kemanusiaan di negeri ini.
Suaranya tidak terdengar di parlemen. Tidak pula masuk dalam media besar yang telah dibeli oleh kepentingan. Tapi dari pinggir jalan, dari Surabaya dan sekitarnya, suara itu bergema. Celoteh Eko Gagak menampar kemapanan, membongkar kepalsuan, dan menjadi tamparan keras bagi para pejabat yang pura-pura tuli terhadap jerit rakyat.
Pasca-reformasi, nyaris tak ada lagi aktivis sekeras Eko. LSM dan ormas banyak yang berubah fungsi—bukan lagi sebagai pembela rakyat, melainkan broker proyek yang menjual nama kemiskinan demi perut sendiri. Tapi tidak dengan Eko Gagak. Ia tetap setia pada keberpihakan sejati. Ia tidak berubah, tidak takut, dan tidak diam.
Dalam celotehnya yang terus menyala, Eko mengingatkan kita bahwa harapan masih ada, selama suara kebenaran masih berani menggema. Selama ada yang berani bersuara, maka ketidakadilan tak akan pernah tenang.
Penulis Ir. Prihandoyo Kuswanto